Tuesday, October 13, 2009


Kematian  juga  dikemukakan  oleh  Al-Quran  dalam   konteks
menguraikan  nikmat-nikmat-Nya  kepada  manusia. Dalam surat
Al-Baqarah (2): 28 Allah mempertanyakan  kepada  orang-orang
kafir.
 
     "Bagaimana kamu mengingkari (Allah) sedang kamu
     tadinya mati, kemudian dihidupkan (oleh-Nya),
     kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
     kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya."
 
Nikmat yang diakibatkan  oleh  kematian,  bukan  saja  dalam
kehidupan   ukhrawi   nanti,  tetapi  juga  dalam  kehidupan
duniawi, karena tidak dapat  dibayangkan  bagaimana  keadaan
dunia kita yang terbatas arealnya ini, jika seandainya semua
manusia hidup terus-menerus tanpa mengalami kematian.
 
 Bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,
 
     "Mahasuci Allah Yang di dalam genggaman
     kekuasaan-Nya seluruh kerajaan, dan Dia Mahakuasa
     atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan
     hidup untuk menguji kamu siapakah di antara kamu
     yang paling baik amalnya, dan sesungguhnya Dia
     Mahamulia lagi Maha Pengampun" (QS Al-Mulk [67]:
     1-2).1
 

KEMATIAN HANYA KETIADAAN HIDUP DI DUNIA
 
Ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi menunjukkan bahwa kematian
bukanlah  ketiadaan  hidup  secara  mutlak, tetapi ia adalah
ketiadaan hidup di dunia,  dalam  arti  bahwa  manusia  yang
meninggal pada hakikatnya masih tetap hidup di alam lain dan
dengan cara yang tidak dapat diketahui sepenuhnya.
 
     "Janganlah kamu menduga bahwa orang-orang yang
     gugur di jalan Allah itu mati, tetapi mereka itu
     hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki" (QS
     Ali-'Imran [3]: 169).
     
     "Janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang
     yang meninggal di jalan Allah bahwa 'mereka itu
     telah mati,' sebenarnya mereka hidup, tetapi kamu
     tidak menyadarinya" (QS Al-Baqarah [2]: 154).
 
Imam Bukhari meriwayatkan melalui sahabat Nabi Al-Bara'  bin
Azib,  bahwa  Rasulullah Saw., bersabda ketika putra beliau,
Ibrahim, meninggal dunia, "Sesungguhnya untuk dia  (Ibrahim)
ada seseorang yang menyusukannya di surga."
 
Sejarawan Ibnu Ishak dan lain-lain meriwayatkan bahwa ketika
orang-orang  musyrik  yang  tewas  dalam  peperangan   Badar
dikuburkan    dalam    satu    perigi    oleh    Nabi    dan
sahabat-sahabatnya, beliau  "bertanya"  kepada  mereka  yang
telah  tewas  itu,  "Wahai  penghuni perigi, wahai Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Ummayah bin Khalaf; Wahai  Abu
Jahl   bin   Hisyam,  (seterusnya  beliau  menyebutkan  nama
orang-orang yang di dalam perigi itu satu per  satu).  Wahai
penghuni  perigi!  Adakah  kamu  telah  menemukan  apa  yang
dijanjikanTuhanmu itu benar-benar ada? Aku  telah  mendapati
apa yang telah dijanjikan Tuhanku."
 
"Rasul. Mengapa  Anda  berbicara  dengan  orang  yang  sudah
tewas?"  Tanya  para  sahabat.  Rasul menjawab: "Ma antum hi
asma' mimma aqul minhum,  walakinnahum  la  yastathi'una  an
yujibuni  (Kamu  sekalian tidak lebih mendengar dari mereka,
tetapi mereka tidak dapat menjawabku)."2
 
MENGAPA TAKUT MATI?
 
Al-Quran  seperti  dikemukakan  berusaha menggambarkan bahwa
hidup di akhirat jauh lebih baik daripada kehidupan dunia.
 
     "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik untukmu
     daripada dunia" (QS Al-Dhuha [93]: 4).
 
Musthafa  Al-Kik  menulis  dalam   bukunya   Baina   Alamain
bahwasanya  kematian  yang dialami oleh manusia dapat berupa
kematian mendadak seperti serangan  jantung,  tabrakan,  dan
sebagainya,  dan  dapat  juga merupakan kematian normal yang
terjadi melalui proses  menua  secara  perlahan.  Yang  mati
mendadak  maupun  yang normal, kesemuanya mengalami apa yang
dinamai sakarat al-maut (sekarat)  yakni  semacam  hilangnya
kesadaran yang diikuti oleh lepasnya ruh dan jasad.
 
Dalam  keadaan  mati  mendadak,  sakarat  al-maut  itu hanya
terjadi beberapa saat singkat, yang mengalaminya akan merasa
sangat  sakit  karena  kematian  yang dihadapinya ketika itu
diibaratkan oleh Nabi Saw.- seperti "duri yang berada  dalam
kapas,  dan  yang dicabut dengan keras." Banyak ulama tafsir
menunjuk ayat Wa nazi'at gharqa (Demi malaikat-malaikat yang
mencabut  nyawa  dengan  keras)  (QS  An-Nazi'at  [79]:  1),
sebagai isyarat  kematian  mendadak.  Sedang  lanjutan  ayat
surat     tersebut     yaitu    Wan    nasyithati    nasytha
(malaikat-malaikat yang mencabut ruh  dengan  lemah  lembut)
sebagai   isyarat   kepada   kematian  yang  dialami  secara
perlahan-lahan.3
 
Kematian yang melalui proses lambat itu dan yang  dinyatakan
oleh  ayat  di  atas  sebagai "dicabut dengan lemah lembut,"
sama keadaannya dengan proses yang  dialami  seseorang  pada
saat  kantuk  sampai  dengan  tidur. Surat Al-Zumar (39): 42
yang  dikutip   sebelum   ini   mendukung   pandangan   yang
mempersamakan  mati  dengan tidur. Dalam hadis pun diajarkan
bahwasanya tidur identik dengan kematian. Bukankah doa  yang
diajarkan  Rasulullah  Saw.  untuk  dibaca  pada saat bangun
tidur adalah:
 
     "Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami
     (membangunkan dari tidur) setelah mematikan kami
     (menidurkan). Dan kepada-Nya jua kebangkitan
     (kelak)."
 
Pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, mengomentari surat Al-Zumar
(39): 42 sebagai berikut:
 
     "Yang pasti adalah tidur dan mati merupakan dua
     hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian
     adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang
     tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna
     dilihat dari beberapa segi."
 
Kalau  demikian.  mati  itu  sendiri  "lezat  dan   nikmat,"
bukankah   tidur   itu   demikian?  Tetapi  tentu  saja  ada
faktor-faktor ekstern yang dapat menjadikan  kematian  lebih
lezat dari tidur atau menjadikannya amat mengerikan melebihi
ngerinya   mimpi-mimpi   buruk   yang    dialami    manusia.
Faktor-faktor  ekstern  tersebut muncul dan diakibatkan oleh
amal manusia yang diperankannya dalam kehidupan dunia ini
 
Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Imam   Ahmad   menjelaskan   bahwa,  "Seorang  mukmin,  saat
menjelang kematiannya, akan didatangi oleh  malaikat  sambil
menyampaikan  dan  memperlihatkan  kepadanya  apa yang bakal
dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih
disenanginya  kecuali  bertemu  dengan Tuhan (mati). Berbeda
halnya  dengan  orang  kafir  yang   juga   diperlihatkannya
kepadanya  apa  yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak
ada sesuatu yang lebih dibencinya  daripada  bertemu  dengan
Tuhan."
 
Dalam surat Fushshilat (41): 30 Allah berfirman,
 
     "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan bahwa
     Tuhan kami ialah Allah, kemudian mereka meneguhkan
     pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada
     mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kamu merasa
     takut dan jangan pula bersedih, serta
     bergembiralah dengan surga yang dijanjikan Allah
     kepada kamu.'"
 
Turunnya  malaikat  tersebut  menurut  banyak  pakar  tafsir
adalah  ketika  seseorang  yang sikapnya seperti digambarkan
ayat di atas sedang menghadapi  kematian.  Ucapan  malaikat,
"Janganlah  kamu  merasa  takut"  adalah  untuk  menenangkan
mereka menghadapi maut  dan  sesudah  maut,  sedang  "jangan
bersedih"   adalah   untuk  menghilangkan  kesedihan  mereka
menyangkut persoalan dunia yang ditinggalkan  seperti  anak,
istri, harta, atau hutang.
 
Sebaliknya Al-Quran mengisyaratkan bahwa keadaan orang-orang
kafir ketika menghadapi kematian sulit terlukiskan:
 
     "Kalau sekuanya kamu dapat melihat
     malaikat-malaikat mencabut nyawa orang-orang yang
     kafir seraya memukul muka dan belakang mereka
     serta berkata, 'Rasakanlah olehmu siksa neraka
     yang membakar' (niscaya kamu akan merasa sangat
     ngeri)" (QS Al-Anfal [8]: 50)
     
     "Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di
     waktu orang-orang yang zalim berada dalam
     tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para
     malaikat memukul dengan tangannya sambil berkata,
     'Keluarkanlah nyawamu! Di hari ini, kamu dibalas
     dengan siksaan yang sangat menghinakan karena kamu
     selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang
     tidak benar, dan karena kamu selalu menyombongkan
     diri terhadap ayat-ayat-Nya" (QS Al-An'am [6]:
     93).
 
Di  sisi  lain,  manusia  dapat  "menghibur"  dirinya  dalam
menghadapi   kematian  dengan  jalan  selalu  mengingat  dan
meyakini bahwa semua manusia pasti akan mati. Tidak  seorang
pun  akan  luput  darinya,  karena  "kematian  adalah risiko
hidup." Bukankah Al-Quran menyatakan bahwa,
 
     "Setiap jiwa akan merasakan kematian?" (QS Ali
     'Imran [3]: 183)
     
     "Kami tidak menganugerahkan hidup abadi untuk
     seorang manusiapun sebelum kamu. Apakah jika kamu
     meninggal dunia mereka akan kekal abadi? (QS
     Al-Anbiya' [21]: 34)
 
Keyakinan  akan  kehadiran  maut  bagi  setiap  jiwa   dapat
membantu meringankan beban musibah kematian. Karena, seperti
diketahui, "semakin banyak yang terlibat dalam  kegembiraan,
semakin   besar   pengaruh   kegembiraan   itu   pada  jiwa;
sebaliknya,  semakin  banyak  yang  tertimpa  atau  terlibat
musibah, semakin ringan musibah itu dipikul."
 
Demikian  Al-Quran  menggambarkan kematian yang akan dialami
oleh manusia taat dan durhaka, dan demikian kitab suci  irõi
menginformasikan   tentang  kematian  yang  dapat  mengantar
seorang mukmin agar  tidak  merasa  khawatir  menghadapinya.
Sementara, yang tidak beriman atau yang durhaka diajak untuk
bersiap-siap menghadapi berbagai ancaman dan siksaan.
 
Semoga kita semua mendapatkan keridhaan Ilahi dan surga-Nya.
mudahan2han artikel ini dapat kita jadikan pendoman dlam hidup kta supaya kite 
sentiasa mngigati Allah dn mgigati mati

0 comments:

Post a Comment